Senin, 16 Maret 2015



Persepsi Mahasiswa  Terhadap Budaya Seumapa
Oleh: Khairul Fahmi
Seumapa adalah sebuah ritual adat perkawinan di Aceh, terutama pada saat Intat Linto (menghantar pengantin laki-laki). Dilihat dari istilah kata-kata seumapa, dapat dipastikan bahwa asal kata seumapa adalah sapa-menyapa. Seumapa sebagai salah satu acara pada upacara adat Intat Linto adalah saling memberi salam dan bertukar informasi antara dua pihak, yaitu pihak rombongan Linto Baro (pengantin laki-laki) dan pihak Dara Baro (pengantin perempuan) atau Ureung Preh Linto Baro (orang yang menunggu pengantin laki-laki) yang diwakili ketua rombongan masing-masing, yang diutarakan dalam bait-bait panton (pantun) dengan bahasa yang indah dan santun yang berlangsung di depan rumah Dara Baro (pengantin perempuan). Hal ini merupakan kebiasaan orang Aceh yang bila datang ke sebuah rumah atau suatu tempat, selalu penuh dengan sopan santun dan memuliakan masyarakat setempat. Begitu pula sebaliknya sebagai orang yang punya tempat, akan menyambut baik bila didatangi dan dikunjungi oleh tamu, sepanjang tamu tersebut datang dengan penuh sopan dan santun. Kebiasaann ini sangaat sering kita jumpai dalam ranah kehidupan masyarakat aceh sehari-hari sampai saat ini dengan petuah-petuah dari orang masa kerajaan aceh dahulu sangat memberi kesan pelajaran yang sangat berharga bagi penerus kedaluatan dan kebangkitan aceh untuk masa yang akan datang, namun hal yang sungguh disayangkan ketika satu-persatu kebudaayaan aceh yang hampir tertelan usia bahkan mahasiswa yang sekarang berada di seluruh peguruan tinggi yang ada di aceh baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ataupun Peguruaan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di bumi Serambi Mekkah tidak mengetahui atau bahkan lupa akan Adat dan Budaya peninggalan leluhur di masa perjuaangan penjajah, dengan adanya motivasi dari mahasiswa yang mampu bersuara dan membanggkitkan kembali dan menggali benih-benih kebudayaan yang ada di bumi serambi mekkah untuk di publikasikan agar budaya aceh tidak tenggelam tidak berbekas.
Menggali dan Menhidupkan
            Menggali dan menghidupkan kembali atas apa yang telah hilang agar tidak hilang dan tidak meninggalkan jejak untuk generasi yang akan datang, ingatkan kalian (mahasiswa) akan satu  petuah yang begitu memotivasi, mengetarkan dan menggelegarkan jiwa memompa jantuk berdeguk kencang seakan api berkobar membara yang bunyinya seperti ini “gadoh aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” mendengar kata dalam kutipan itu seharusnya sontak membuat para mahasiswa untuk mulai bergegas untuk menggali butir-butir emas yang terhadap budaya kita, melalui mahasiswalah budaya itu bisa berdiri dengan lahirnya generasi penerus yang gagah dan mempesona, seperti halnya Kabupaten Bireuen merupakan sebuah kabupaten pemekaran dari kabupaten Aceh Utara pada tahun 1991 silam, kini meninggakan beberapa  mestro Seumapa Syeh Seuman Buket, Syeh Rusli Peudada, tgk. Nasir Peusangan dan beberapa tokoh lainnya. Namun di daerah lain juga pasti demikian hanya menyisakan mestro seumapa yang sudah tua bahkan mereka juga khawatir akan apa yang mereka perjuangkan ini hilang begitu saja seiring tutup usia mereka, akankah seumapa ini berakhir?.
            Akankah masih terdengar bait-bait pantun yang indah dan memanjakan telinga dan terkadan bergelak tawa mendengar beberapa yang jenaka, saya saja kagum akan kemahiran masyarakat Aceh dalam menyusun indah bait-bait itu sehingga juga terdapat beberapa nasehat di dalam bait pantun tersebut. Bahkan saya sempat mendengar dan menangkap apa  yang saya dengar pada saat saya menghadiri perlombaan Seumapa dalam rangka HUT Kab. Bireuen Ke-15 tahun dengan bunyi seperti ini,  Alhamdulillah lon pujo Tuhan yang pejeut alam langet ngon bumo yang pegot uroe seureuta malam yang pegot adam seureuta hawa, Allah pejeut jen seureuta insan dum sekalian syurga neraka”,dan seterusnya lalu dibalaslah oleh pihak Dara Baroe yang menunggu rombongan Linto baroe, berturut dan tersusun dengan indah, akankah ini berakhir begitu saja tanpa ada turun tangan dari mahasiswa untuk melestarikan hal ini, terlebih mahasiswa Pendidkan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, dan juga mahasiswa yang lain yang harus ikut andil memperjuangkan apa yang mesti harus kita perjuangkan.
            Kenyataan yang  ada sekarang  seumapa tidak terlihat lagi pada acara pesta  perkawinan masyarakat Aceh, hal ini sudah tergantikan dengan iringan musik modern tidak lagi terdengar shalawat atau petuah nasehat, pada sesi penyambutan linto baroe juga tiada lagi seperti orang aceh dahulu yang memulai dengan salam memlalui bait-bait lantunan pantun  yang indah yang diikenal dengan istilah berbalas  pantun, tanpa ada petuah atau kata-kata nasehat untuk kedua mempelai baik dari pihak laki-laki maupun dipihak mempelai perempuan, sungguh miris bila hal ini terus terjadi dan terus terjadi tanpa ada pelestarian budaya oleh generasi penerus bangsa jangan sampai setelah diklaim orang lain baru sibuk bergegas dan berkomitmen satu tekat bahwa itu adalah budaya masyarakat aceh.
Bangkit untuk Budaya Aceh
            Untuk memamjukan budaya aceh yang hampir hilang saya akan ikut untuk melestarikan hal ini untuk kemajuan dan ketahanan serta keakraban antara masyarakat aceh itu sendiri tanpa memikirkan ras dan suku mereka, kebangkitan itu hampir muncul dan memacu semangat para mahasiswa berkat turun tangat dari pemangku adat aceh yang kini membentuk sebuah lembaga yang menjaga kelestarian budaya dan peninggalan sejarah aceh baik pusat kota Provinsi Aceh muaupun kabupaten, sebuah lembaga yang diberi nama Majelis Adat Aceh (MAA) yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh, dengan melaksanakan pelatihan berkenaan tentang seumapa yang dilakukan di beberapa daerah di aceh, seperti halnya Kabupaten Bireuen yang mengadakan perlombaan itu untuk 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bireuen dan 1grup dari utusan Universitas Almuslim yang merupakan mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan daerah yang saya sendiri hadir di dalamnya sebagai Linto Baroe. Dan Alhamdulillah tidak sia-sia berka usaha kami berhasil meraih juara kedua melawan seluruh peeserta yang peserta syeh handal utusan kecamatan masing-masing dan kami juga peserta termuda yang ikut partispasi pada evn tersebut. Dengan berkobarnya semangat kami semoga tidak menyurutkan semangat para mahasiswa perguruan tinggi lain atau daerah lain untuk melestarikan budaya seumapa di bumi Serambi Mekkah tercinta. Kelestarian suatu budaya daerah tidak akan berjalan dan berkembang apabila pemuda tidak peduli lagi terhadap kebudayaan bangsa itu sendiri, maka dalam hal ini sebagai pemuda generasi penerus ketahanan budaya aceh supaya selalu dikenang dan diperhatikan oleh daerah lain bahwa Aceh adalah provinsi yang sangat kental unsur budayanya yag di dalamnya meliputi, kesopanan, keramahan, kebersamaan, toleransi serta religius negeri Serambi Mekkah yang kita sandang agar pantas dan selalu dikenang oleh bangsa lain bila berkunjung ke aceh harus menjaga etika dan mematuhi aturan dan syariat islam yang ada di Aceh. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa harus seayun langkah dan seayun bahu dalam memperjuangkan syariat islam di aceh serta memperkuat unsur kebudayaan yang ada di Provinsi Aceh, dengan menjaga dan melestarikan budaya seumapa yang ada di daerah kita masing-masing terlebih penting untuk Bireuen dan Aceh utara kita sebagai penerus kelangsungan kebudayaan yang ada di dua daerah tersebut, dan jangan hanya bicara tetapi bekerja dan laksanakan apa yang harus kita lestarikan.

                                        Khairul fahmi, Mahasiswa Pendidikan Bahasa,
Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Almuslim.