Persepsi Mahasiswa Terhadap Budaya Seumapa
Oleh:
Khairul Fahmi
Seumapa adalah
sebuah ritual adat perkawinan di Aceh, terutama pada saat Intat Linto (menghantar
pengantin laki-laki). Dilihat dari istilah kata-kata seumapa, dapat dipastikan bahwa asal kata seumapa adalah sapa-menyapa. Seumapa
sebagai salah satu acara pada upacara adat Intat
Linto adalah saling memberi salam dan bertukar informasi antara dua pihak,
yaitu pihak rombongan Linto Baro
(pengantin laki-laki) dan pihak Dara Baro
(pengantin perempuan) atau Ureung Preh
Linto Baro (orang yang menunggu pengantin laki-laki) yang diwakili ketua
rombongan masing-masing, yang diutarakan dalam bait-bait panton (pantun) dengan bahasa yang indah dan santun yang
berlangsung di depan rumah Dara Baro (pengantin
perempuan). Hal ini merupakan kebiasaan orang Aceh yang bila datang ke sebuah
rumah atau suatu tempat, selalu penuh dengan sopan santun dan memuliakan
masyarakat setempat. Begitu pula sebaliknya sebagai orang yang punya tempat,
akan menyambut baik bila didatangi dan dikunjungi oleh tamu, sepanjang tamu
tersebut datang dengan penuh sopan dan santun. Kebiasaann ini sangaat sering
kita jumpai dalam ranah kehidupan masyarakat aceh sehari-hari sampai saat ini
dengan petuah-petuah dari orang masa kerajaan aceh dahulu sangat memberi kesan
pelajaran yang sangat berharga bagi penerus kedaluatan dan kebangkitan aceh
untuk masa yang akan datang, namun hal yang sungguh disayangkan ketika
satu-persatu kebudaayaan aceh yang hampir tertelan usia bahkan mahasiswa yang
sekarang berada di seluruh peguruan tinggi yang ada di aceh baik Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) ataupun Peguruaan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di bumi
Serambi Mekkah tidak mengetahui atau bahkan lupa akan Adat dan Budaya peninggalan
leluhur di masa perjuaangan penjajah, dengan adanya motivasi dari mahasiswa
yang mampu bersuara dan membanggkitkan kembali dan menggali benih-benih
kebudayaan yang ada di bumi serambi mekkah untuk di publikasikan agar budaya
aceh tidak tenggelam tidak berbekas.
Menggali dan Menhidupkan
Menggali dan menghidupkan kembali
atas apa yang telah hilang agar tidak hilang dan tidak meninggalkan jejak untuk
generasi yang akan datang, ingatkan kalian (mahasiswa) akan satu petuah yang begitu memotivasi, mengetarkan
dan menggelegarkan jiwa memompa jantuk berdeguk kencang seakan api berkobar
membara yang bunyinya seperti ini “gadoh
aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” mendengar kata dalam kutipan
itu seharusnya sontak membuat para mahasiswa untuk mulai bergegas untuk
menggali butir-butir emas yang terhadap budaya kita, melalui mahasiswalah
budaya itu bisa berdiri dengan lahirnya generasi penerus yang gagah dan
mempesona, seperti halnya Kabupaten Bireuen merupakan sebuah kabupaten
pemekaran dari kabupaten Aceh Utara pada tahun 1991 silam, kini meninggakan
beberapa mestro Seumapa Syeh Seuman Buket, Syeh Rusli Peudada, tgk. Nasir Peusangan
dan beberapa tokoh lainnya. Namun di daerah lain juga pasti demikian hanya
menyisakan mestro seumapa yang sudah
tua bahkan mereka juga khawatir akan apa yang mereka perjuangkan ini hilang
begitu saja seiring tutup usia mereka, akankah seumapa ini berakhir?.
Akankah masih terdengar bait-bait
pantun yang indah dan memanjakan telinga dan terkadan bergelak tawa mendengar
beberapa yang jenaka, saya saja kagum akan kemahiran masyarakat Aceh dalam
menyusun indah bait-bait itu sehingga juga terdapat beberapa nasehat di dalam
bait pantun tersebut. Bahkan saya sempat mendengar dan menangkap apa yang saya dengar pada saat saya menghadiri
perlombaan Seumapa dalam rangka HUT
Kab. Bireuen Ke-15 tahun dengan bunyi seperti ini, “Alhamdulillah
lon pujo Tuhan yang pejeut alam langet ngon bumo yang pegot uroe seureuta malam
yang pegot adam seureuta hawa, Allah pejeut jen seureuta insan dum sekalian
syurga neraka”,dan seterusnya lalu dibalaslah oleh pihak Dara Baroe yang menunggu rombongan Linto baroe, berturut dan tersusun dengan
indah, akankah ini berakhir begitu saja tanpa ada turun tangan dari mahasiswa
untuk melestarikan hal ini, terlebih mahasiswa Pendidkan Bahasa, Sastra
Indonesia dan Daerah, dan juga mahasiswa yang lain yang harus ikut andil
memperjuangkan apa yang mesti harus kita perjuangkan.
Kenyataan yang ada sekarang
seumapa tidak terlihat lagi
pada acara pesta perkawinan masyarakat
Aceh, hal ini sudah tergantikan dengan iringan musik modern tidak lagi
terdengar shalawat atau petuah nasehat, pada sesi penyambutan linto baroe juga tiada lagi seperti
orang aceh dahulu yang memulai dengan salam memlalui bait-bait lantunan
pantun yang indah yang diikenal dengan
istilah berbalas pantun, tanpa ada petuah
atau kata-kata nasehat untuk kedua mempelai baik dari pihak laki-laki maupun
dipihak mempelai perempuan, sungguh miris bila hal ini terus terjadi dan terus
terjadi tanpa ada pelestarian budaya oleh generasi penerus bangsa jangan sampai
setelah diklaim orang lain baru sibuk bergegas dan berkomitmen satu tekat bahwa
itu adalah budaya masyarakat aceh.
Bangkit untuk Budaya Aceh
Untuk memamjukan budaya aceh yang
hampir hilang saya akan ikut untuk melestarikan hal ini untuk kemajuan dan
ketahanan serta keakraban antara masyarakat aceh itu sendiri tanpa memikirkan
ras dan suku mereka, kebangkitan itu hampir muncul dan memacu semangat para
mahasiswa berkat turun tangat dari pemangku adat aceh yang kini membentuk
sebuah lembaga yang menjaga kelestarian budaya dan peninggalan sejarah aceh
baik pusat kota Provinsi Aceh muaupun kabupaten, sebuah lembaga yang diberi
nama Majelis Adat Aceh (MAA) yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota yang ada
di Provinsi Aceh, dengan melaksanakan pelatihan berkenaan tentang seumapa yang dilakukan di beberapa
daerah di aceh, seperti halnya Kabupaten Bireuen yang mengadakan perlombaan itu
untuk 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bireuen dan 1grup dari utusan
Universitas Almuslim yang merupakan mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan daerah
yang saya sendiri hadir di dalamnya sebagai
Linto Baroe. Dan Alhamdulillah tidak sia-sia berka usaha kami berhasil
meraih juara kedua melawan seluruh peeserta yang peserta syeh handal utusan
kecamatan masing-masing dan kami juga peserta termuda yang ikut partispasi pada
evn tersebut. Dengan berkobarnya semangat kami semoga tidak menyurutkan
semangat para mahasiswa perguruan tinggi lain atau daerah lain untuk
melestarikan budaya seumapa di bumi
Serambi Mekkah tercinta. Kelestarian suatu budaya daerah tidak akan berjalan
dan berkembang apabila pemuda tidak peduli lagi terhadap kebudayaan bangsa itu
sendiri, maka dalam hal ini sebagai pemuda generasi penerus ketahanan budaya
aceh supaya selalu dikenang dan diperhatikan oleh daerah lain bahwa Aceh adalah
provinsi yang sangat kental unsur budayanya yag di dalamnya meliputi,
kesopanan, keramahan, kebersamaan, toleransi serta religius negeri Serambi
Mekkah yang kita sandang agar pantas dan selalu dikenang oleh bangsa lain bila
berkunjung ke aceh harus menjaga etika dan mematuhi aturan dan syariat islam
yang ada di Aceh. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa harus seayun langkah
dan seayun bahu dalam memperjuangkan syariat islam di aceh serta memperkuat
unsur kebudayaan yang ada di Provinsi Aceh, dengan menjaga dan melestarikan
budaya seumapa yang ada di daerah
kita masing-masing terlebih penting untuk Bireuen dan Aceh utara kita sebagai
penerus kelangsungan kebudayaan yang ada di dua daerah tersebut, dan jangan
hanya bicara tetapi bekerja dan laksanakan apa yang harus kita lestarikan.
Khairul fahmi, Mahasiswa Pendidikan
Bahasa,
Sastra Indonesia dan Daerah,
Universitas Almuslim.